Senin, 12 Maret 2018

Maka Jiwaku pun Memuji-MU

1 Januari 2017, saya dan istri ada di Punthuk Setumbu, melihat sunrise pertama di tahun 2017 di tempat yang sangat indah. Pagi itu kami harus berangkat jam 04.00 pagi yang artinya harus bangun jam 03.30 pagi. Mata masih belum mau terbuka, badan masih lelah karena baru tidur beberapa jam saja setelah malam pergantian tahun.

Sekitar 1 jam perjalanan dari kota Yogyakarta dengan lalu lintas yang masih sangat sepi, akhirnya kami tiba di Punthuk Setumbu, keadaan masih sangat gelap. Ketika kami sampai, belum banyak mobil yang terparkir tapi tidak perlu waktu lama sampai akhirnya area parkir penuh dengan mobil. Setelah memakirkan mobil rental dengan aman, kami dipandu ke arah pengamatan Sunrise oleh warga sekitar yang memang sudah siap menyambut wisatawan yang mau menikmati indahnya matahari terbit di Punthuk Setumbu.

Ternyata masih perlu waktu 20 menit berjalan kaki menanjak untuk sampai ke Punthuk Setumbu. Bagi orang kota macam saya, ini melelahkan. Saya sempat berpikir, kenapa hanya untuk melihat matahari terbit saja, saya harus rela kurang tidur dan berjalan menanjak membawa beban lemak yang ada di badan. Balik badan dan tidur di bale-bale warung milik warga tentu jadi hal yang lebih nyaman untuk dilakukan.

Semua gerutu hilang begitu kami sampai di lokasi pengamatan matahari terbit. Bintang yang ditunggu masih belum menampakkan dirinya, hanya berkas cahaya biru yang menandakan bahwa sang bintang akan datang beberapa saat lagi. Kami masih kebagian posisi berdiri di depan, bersandar ke pagar besi ala kadarnya yang disiapkan warga agar pengunjung tidak jatuh ke jurang didepannya. Segalanya masih tampak biru, melihatnya saja sudah membuat badan merasa kedinginan karena warna birunya yang menyejukkan.

Samar-samar mulai tampak landscape yang diselubungi oleh cahaya biru tersebut. Semakin lama semakin jelas. Di kejauhan tampak Gunung Merapi dan Merbabu yang dipercaya oleh penduduk sekitaran Yogyakarta adalah sepasang suami dan istri. Di bawah bukit nampak Candi Borobudur. Candi yang begitu megah dan besar terlihat begitu kecil dibandingkan pemandangan disekitarnya. Candi Budha terbesar di dunia buatan manusia tersebut tidak sebanding dengan kemegahan alam yang ditata oleh Sang Maha Pencipta, seolah mengingatkan betapa kecilnya ciptaan dibanding Sang Pencipta.

Pagi semakin terang, cahaya biru berangsur digantikan oleh sinar Jingga dari ufuk Timur. Perlahan Sinar Jingga mulai menguasai landscape di depan kami, menandakan hanya tinggal hitungan detik sampai sang Bintang Pertunjukan tampil dari balik Gunung Merapi. Sebagian besar pengunjung sibuk mengabadikan keindahan ini lewat kamera mereka, berharap bisa mengenang rasa takjub lewat foto yang mereka ambil. Tentu saja usaha menjaring angin. Kamera mereka mungkin mampu merekam sebagian saja keindahan pemandangan yang tersaji, tapi tidak sejuknya embun pagi itu, sunyi yang membawa ketenangan, bau pepohonan dan tanah yang terbawa angin, dan sedikit kehangatan yang mulai datang bersama dengan Sinar Jingga. Seluruh indra merasa dan terkesima dibuatnya. Memotretnya hanya akan mereduksi keindahannya dalam gambar 2 dimensi.

Akhirnya sang Bintang Pertunjukkan muncul dari balik Gunung Merapi. Seperti malu-malu, tapi juga menyadari bahwa kehadirannya sudah ditunggu oleh banyak orang, dengan tenang dan pasti dia bergerak makin tinggi. Tak ada tepuk tangan, bukan karena hal itu biasa saja, tapi karena kami tersihir kaku oleh kemunculannya. Tak sempat dan tak ada perlunya kami bereaksi apapun, kami membiarkan diri kami terpesona oleh keindahan ini. Hanya terdengar beberapa tarik nafas panjang. Mereka yang datang berpasangan memeluk erat pasangannya. Saat itu juga, setiap manusia sedang berbincang dengan Penciptanya lewat kata yang tidak dipahami bahasa namun senyata pemandangan yang tersaji di depan mereka. "Selamat pagi anak-Ku" sapa Tuhan, “Sungguh Besar, Kau Allah ku” sahut jiwa ku yang memuji Tuhan, seperti digambarkan penggubah lagu Kidung Jemaat 64 dalam reffrainnya.

Pagi itu memberikan kami pelajaran, hal sesederhana terbitnya matahari sama sekali bukanlah hal yang sederhana. Penolakan manusia untuk mengakui kebesaran Tuhan lah yang menjadikannya sederhana. Mengerdilkannya sebagai rutinitas yang pasti berulang. Tak ada yang istimewa. Mungkin setiap kita tiba pada masa dimana segalanya adalah biasa saja, tidak ada keagungan Tuhan didalamnya. Padahal Allah masih di sana, di setiap hal yang kita lihat sederhana dan rutin. Tajamkanlah inderamu, pekakanlah rasamu, janganlah biarkan dirimu berhenti takjub akan kebesaran Tuhan yang mejadikan segalanya bagi-mu. Sebab mungkin kita tidak sekedar melewatkan terbitnya matahari pagi ini atau esok pagi, tapi kita juga melewatkan sapaan lembut Tuhan "Selamat pagi anak-Ku".


Ditulis untuk materi Firman pada Ibadah GP 24 Februari 2018

Selasa, 22 Juli 2014

Aku Seharusnya Menulis

Posting terakhir gw ternyata sudah kira-kira 3,5 tahun lagi.

Berkali-kali sebenernya pengen segera mulai lagi untuk menulis, tapi apa daya, rasa malas sangat menarik untuk dipelihara dan dituruti.

Malam ini akhirnya mulai menulis lagi dan semoga ini menjadi 'restart' yang baik dan gw bisa tetep semangat untuk terus nulis dan nulis lagi.

Kenapa malam ini nulis? Karena pak Jokowi menang.
Emangnya kenapa kalo dia menang? Ya spesial donk.
Apa spesialnya? Banyak
Misalnya? Ribet ah. Udah, gw koreksi deh. Gw malam ini nulis lagi ya karena pengen aja. Biar ga panjang urusannya.

Semoga hari ini dan hari-hari berikutnya gw bisa tetap terus mengingatkan diri sendiri untuk "Gw Seharusnya Menulis".

Senin, 22 November 2010

Kerja Sebagai Kutuk

"dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu." Kej 3:19

Kepalaku masih agak pusing. Aku baru tidur jam 4 pagi karena ada pekerjaan maintenance di kantor. Siang ini pun aku bangun hampir tanpa semangat karena team leader meminta ku untuk datang siang ini setelah jam makan siang.

Ketika sedang mengendarai motor kemarin aku berpikir untuk apa aku harus berlelah-lelah seperti ini? Satu bulan ini banyak sekali pekerjaan yang membuat ku harus tinggal sampai tengah malam di kantor. Memang biasanya aku tidak perlu lagi masuk kantor pada siang harinya.

Karena lapar, aku pun mampir di warung nasi uduk betawi yang memang biasa buka sampai subuh. Ketika aku hendak menikmati makanan ku, aku kembali berpikir untuk apa aku harus bersusah-susah seperti ini? Di hadapanku tersedia makanan yang sudah tidak hangat lagi karena sudah dimasak dari tadi malam, gorengan yang sudah tidak gurih lagi dan menjadi sangat berminyak karena sudah terlalu lama ada di atas piring saji. Peduli amat, aku lapar!

Tidak lama aku kembali berpikir karena ternyata satu per satu ada orang datang setelah aku. Dua diantara mereka adalah supir taksi dan satu lagi anak muda. Aku yang tadinya sendiri di warung itu jadi punya teman makan walaupun kami tidak saling menegur apalagi mengobrol ketika nasi uduk tersedia di hadapan kami. Lagipula apa yang ada dihadapanku lebih menarik untuk disantap ketimbang mengobrol yang (berani jamin) topiknya tidak jauh dari soal negara, hahaha... Tapi kemudian kembali aku diingatkan akan pertanyaan "untuk apa?" ketika aku pun menyadari mereka habis dan masih bekerja ketika orang lain sedang sangat menikmati memeluk bantal gulingnya.

Aku tidak bisa menjawab mengapa mereka mau bersusah-susah, tapi kalau aku sendiri, hmm.. Aku teringat kutuk yang pernah Allah berikan. Ya, aku -dan semua manusia lain- begini karena berada di bawah kutuk Allah. Andai saja orang-orang tidak perlu bersusah-susah bekerja, pasti dunia akan jadi,,, lebih buruk... Aku bersusah bukan untukku, tapi untuk orang-orang yang aku pedulikan (susah mau bicara kasihi). Supir taksi tadi pun mungkin mau bersusah-susah bukan karena dia mau beli IPhone4, atau mungkin sebuah ThinkPad? Kemungkinan mereka bekerja seperti itu untuk alasan yang hampir sama dengan ku, yaitu demi orang-orang yang mereka pedulikan (susah ngomong kasihi).

Memang dasar Allah terlalu baik, dalam kutuknya pun dia masih ajarkan kita untuk mengasihi. Benar aku berlelah untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi bukan cuma kebutuhan hidupku sendiri tapi juga orang-orang yang aku pedulikan.

Jika begitu, aku tidak akan lagi menganggap bekerja hingga berlelah-lelah sebagai kutuk. Sebaliknya itu adalah berkat dari Allah untuk kita bisa menyatakan kasih.




Dan aku pun mengambil handuk, mandi, dan berangkat kembali ke kantor siang ini. Dan akan terus begini sampai aku kembali menjadi tanah.
Thanks GOD.

Kamis, 09 September 2010

Andaikan Manusia Tidak Pernah Bisa Menyembunyikan Perasaannya

Coba bayangkan suatu dunia dimana manusianya memiliki warna rambut yang bisa berubah-rubah sesuai dengan perasaan hati terdalam dari manusia tersebut. Misalnya saja, ketika marah, maka warna rambut akan menjadi berwarna merah. Ketika bahagia, warna rambut menjadi berwarna putih. Ketika sedih, warna rambut menjadi berwarna hitam. Ketika kecewa, warna rambut menjadi berwarna abu-abu. Ketika jatuh cinta, warna rambut menjadi berwarna pink, dst. (dan anggap juga tidak ada manusia yang buta warna di dunia macam ini)

Di dunia seperti ini, manusia tidak dapat lagi menyembunyikan perasaannya, karena apa yang dirasakan dapat terlihat langsung dari warna rambut mereka. Kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi di dunia semacam ini. Ketika seorang karyawan marah kepada bosnya yang berlaku tidak adil, maka sang bos bisa langsung mengetahui hal tersebut dari warna rambutnya yang berubah walaupun senyum tetap terpasang dalam wajahnya. Hal ini tentu berbahaya bagi hubungan baik antara karyawan dengan bos - tidak baik.

Bagaimana jadinya ketika kita akan menghadiri pemakaman seseorang, dalam perjalan kita menerima kabar bahwa proposal penawaran diterima oleh client? Tentu kita bahagia dan rambut kita menjadi berwarna putih. Bayangkan bagaimana tidak enaknya kita berada di sebuah pemakaman di mana orang lain tahu kita sedang senang. Bisa jadi orang lain menjadi salah paham dengan mengira kita bahagia atas kematian orang yang sedang dimakamkan - tidak baik.

Kejadian berikutnya, bayangkan diri anda sebagai seorang pelatih tim sepak bola dan suatu saat tim yang anda latih kalah dalam sebuah pertandingan penting. Di saat seperti ini anda tentu harus tetap mengobarkan semangat juang anak latih anda dengan memberikan mereka motivasi dan mengatakan bahwa segalanya baik-baik saja. Namun disaat yang sama para anak latih anda melihat rambut anda berubah warna menjadi abu-abu yang menandakan anda kecewa kepada mereka. Perkataan anda sepertinya menjadi tidak banyak bermanfaat untuk membangun semangat mereka - tidak baik.

Ini kasus terakhir, bayangkan betapa malunya anda ketika rambut anda berubah menjadi berwarna pink ketika anda melihat orang yang sedang anda taksir. Anda tak dapat lagi pura-pura tidak tertarik dan tidak memperhatikan orang tersebut karena warna rambut anda sudah menunjukkan isi hati anda. Tak hanya memalukan, hal ini juga akan menghilangkan segala kisah-kisah romantis yang ada di buku, lagu, film, dll. Hal terbaik dan terindah ketika seseorang sedang jatuh cinta adalah ketika orang tersebut sedang menerka-nerka dengan sangat keras tentang apa yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang sedang dia sukai. Apakah orang yang disukai sebenarnya juga suka atau tidak. Misteri cinta macam ini lah yang membuat tema romantisme menjadi komoditas utama dalam segala bentuk karya seni.

Sebenarnya hal tersebut tidak hanya berlaku dalam romantisme belaka. Kita akan menemukan dunia ini menjadi kurang menarik ketika kita bisa tahu dengan gamblang setiap penilaian orang terhadap kita atau setiap perasaan yang orang lain rasakan. Benarlah lagu lama yang menyatakan bahwa "dunia ini panggung sandiwara". Ada peran yang wajar dan ada peran berpura-pura. Setiap orang memainkan kedua peran pada waktunya masing-masing.

Selamat menjalani panggung mu kawan, namun tetaplah berusaha menunjukkan siapa dirimu sebenarnya. Jangan terlalu berharap mendapatkan banyak keterbukaan dan kejujuran, karena sebenarnya dunia tidak cukup siap untuk segala keterusterangan.

Dan dunia, berarti di dalamnya termasuk saya dan anda.

Rabu, 08 September 2010

Blaffende Hond

Nama yang saya pilih untuk blog ini justru malah mengindikasikan kalau blog ini tidak perlu dibaca dan diikuti. Siapa yang mau memedulikan lolongan anjing di malam hari? Siapa pula yang menganggap aneh jika mendengar lolongan anjing di malam hari? Atau siapakah manusia yang penasaran akan makna dari lolongan anjing yang dia dengar? Segala jawaban atas pertanyaan tersebut sepertinya adalah "tidak ada".

Lalu untuk apa membuat blog kalau hanya untuk diacuhkan? Well, sebenarnya blog ini dibuat hanya untuk menampilkan tentang sudut pandang seorang Benny terhadap berbagai jenis masalah. Dan karena saya hanya rakyat jelata, saya sadar sudut pandang saya tidak berharga mahal untuk diperhatikan. Karena setiap "setiap manusia adalah merdeka pada pemikiran dan idenya" maka saya sendiri mencoba untuk tidak membelenggu pikiran dan ide saya atau hanya membiarkannya berlalu secara sia-sia saja.

Silahkan menikmati blog ini karena memang blog ini dibuat untuk disajikan pada dunia dengan jaringan yang mendunia. Semoga anda bisa menikmati lolongan anjing yang sering kali justru mengganggu tidur nyenyak anda.

Happy reading...