Sekitar 1 jam perjalanan
dari kota Yogyakarta dengan lalu lintas yang masih sangat sepi, akhirnya kami
tiba di Punthuk Setumbu, keadaan masih sangat gelap. Ketika kami sampai, belum
banyak mobil yang terparkir tapi tidak perlu waktu lama sampai akhirnya area
parkir penuh dengan mobil. Setelah memakirkan mobil rental dengan aman, kami
dipandu ke arah pengamatan Sunrise oleh warga sekitar yang memang sudah siap
menyambut wisatawan yang mau menikmati indahnya matahari terbit di Punthuk
Setumbu.
Ternyata masih perlu waktu
20 menit berjalan kaki menanjak untuk sampai ke Punthuk Setumbu. Bagi orang
kota macam saya, ini melelahkan. Saya sempat berpikir, kenapa hanya untuk
melihat matahari terbit saja, saya harus rela kurang tidur dan berjalan
menanjak membawa beban lemak yang ada di badan. Balik badan dan tidur di
bale-bale warung milik warga tentu jadi hal yang lebih nyaman untuk dilakukan.
Semua gerutu hilang begitu
kami sampai di lokasi pengamatan matahari terbit. Bintang yang ditunggu masih
belum menampakkan dirinya, hanya berkas cahaya biru yang menandakan bahwa sang
bintang akan datang beberapa saat lagi. Kami masih kebagian posisi berdiri di
depan, bersandar ke pagar besi ala kadarnya yang disiapkan warga agar
pengunjung tidak jatuh ke jurang didepannya. Segalanya masih tampak biru,
melihatnya saja sudah membuat badan merasa kedinginan karena warna birunya yang
menyejukkan.
Samar-samar mulai tampak
landscape yang diselubungi oleh cahaya biru tersebut. Semakin lama semakin
jelas. Di kejauhan tampak Gunung Merapi dan Merbabu yang dipercaya oleh
penduduk sekitaran Yogyakarta adalah sepasang suami dan istri. Di bawah bukit
nampak Candi Borobudur. Candi yang begitu megah dan besar terlihat begitu kecil
dibandingkan pemandangan disekitarnya. Candi Budha terbesar di dunia buatan
manusia tersebut tidak sebanding dengan kemegahan alam yang ditata oleh Sang
Maha Pencipta, seolah mengingatkan betapa kecilnya ciptaan dibanding Sang
Pencipta.
Pagi semakin terang, cahaya
biru berangsur digantikan oleh sinar Jingga dari ufuk Timur. Perlahan Sinar
Jingga mulai menguasai landscape di depan kami, menandakan hanya tinggal
hitungan detik sampai sang Bintang Pertunjukan tampil dari balik Gunung Merapi.
Sebagian besar pengunjung sibuk mengabadikan keindahan ini lewat kamera mereka,
berharap bisa mengenang rasa takjub lewat foto yang mereka ambil. Tentu saja
usaha menjaring angin. Kamera mereka mungkin mampu merekam sebagian saja
keindahan pemandangan yang tersaji, tapi tidak sejuknya embun pagi itu, sunyi
yang membawa ketenangan, bau pepohonan dan tanah yang terbawa angin, dan
sedikit kehangatan yang mulai datang bersama dengan Sinar Jingga. Seluruh indra
merasa dan terkesima dibuatnya. Memotretnya hanya akan mereduksi keindahannya
dalam gambar 2 dimensi.
Akhirnya sang Bintang
Pertunjukkan muncul dari balik Gunung Merapi. Seperti malu-malu, tapi juga
menyadari bahwa kehadirannya sudah ditunggu oleh banyak orang, dengan tenang
dan pasti dia bergerak makin tinggi. Tak ada tepuk tangan, bukan karena hal itu
biasa saja, tapi karena kami tersihir kaku oleh kemunculannya. Tak sempat dan
tak ada perlunya kami bereaksi apapun, kami membiarkan diri kami terpesona oleh
keindahan ini. Hanya terdengar beberapa tarik nafas panjang. Mereka yang datang
berpasangan memeluk erat pasangannya. Saat itu juga, setiap manusia sedang
berbincang dengan Penciptanya lewat kata yang tidak dipahami bahasa namun
senyata pemandangan yang tersaji di depan mereka. "Selamat pagi
anak-Ku" sapa Tuhan, “Sungguh Besar, Kau Allah ku” sahut jiwa ku yang
memuji Tuhan, seperti digambarkan penggubah lagu Kidung Jemaat 64 dalam
reffrainnya.
Pagi itu memberikan kami
pelajaran, hal sesederhana terbitnya matahari sama sekali bukanlah hal yang
sederhana. Penolakan manusia untuk mengakui kebesaran Tuhan lah yang
menjadikannya sederhana. Mengerdilkannya sebagai rutinitas yang pasti berulang.
Tak ada yang istimewa. Mungkin setiap kita tiba pada masa dimana segalanya
adalah biasa saja, tidak ada keagungan Tuhan didalamnya. Padahal Allah masih di
sana, di setiap hal yang kita lihat sederhana dan rutin. Tajamkanlah inderamu,
pekakanlah rasamu, janganlah biarkan dirimu berhenti takjub akan kebesaran
Tuhan yang mejadikan segalanya bagi-mu. Sebab mungkin kita tidak sekedar melewatkan
terbitnya matahari pagi ini atau esok pagi, tapi kita juga melewatkan sapaan
lembut Tuhan "Selamat pagi anak-Ku".
Ditulis untuk materi Firman pada Ibadah GP 24 Februari 2018